Carut-marut pengelolaan Kawasan Industri Tanjung Buton (KITB) kembali disorot publik. Salah satu tokoh yang ikut memperjuangkan pembebasan lahan kawasan seluas 5.400 hektare tersebut, Farizal, menyampaikan keprihatinannya atas berbagai persoalan yang terjadi di kawasan yang diharapkan menjadi sentral bisnis terbesar di kawasan ASEAN dan membuka ribuan lapangan pekerjaan bagi generasi masa kini dan mendatang.
Farizal menilai pengelolaan KITB saat ini jauh dari harapan. Sejumlah temuan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Siak pada tahun 2022 mengungkapkan adanya ketidakwajaran dalam laporan keuangan PT KITB, PT SPS, dan PT SS, yang dinilai telah melanggar berbagai ketentuan dan menyebabkan kerugian.
Bahkan, pada tahun lalu, PT SS dinyatakan tidak mampu mengelola kawasan pelabuhan bongkar muat oleh pemerintah pusat. Akibatnya, operasional pelabuhan kini diambil alih sementara oleh KSOP Kelas II Siak. “Ini sangat memprihatinkan dan memalukan,” ujar Farizal.
Lebih lanjut, ia menyoroti lemahnya pengawasan terhadap lahan KITB oleh PT KITB sebagai pemegang izin kawasan. Ia menyebut adanya aktivitas land clearing ilegal seluas ±30 hektare oleh oknum masyarakat dari luar Kabupaten Siak untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Hasil pemetaan citra satelit menunjukkan bahwa lahan tersebut berada dalam kawasan KITB dengan status APL (Areal Penggunaan Lain).
Menurut ketentuan, lahan APL tidak boleh diolah atau dialihfungsikan tanpa persetujuan resmi dari pemegang izin (dalam hal ini PT KITB atau Pemkab Siak). Saat ditanya bagaimana jika lahan tersebut diakui sebagai milik warga dan kemudian dijual, Farizal menegaskan bahwa masyarakat yang merasa memiliki lahan di dalam KITB namun belum menerima ganti rugi, seharusnya:
1. Mendatangi Pemda Siak dengan membawa bukti kepemilikan.
2. Memastikan apakah lahan tersebut sudah diganti rugi atau belum.
3. Jika sudah diganti rugi, siapa yang menerimanya?
4. Jika belum, meminta kejelasan status lahan—apakah akan dikeluarkan dari kawasan KITB atau tidak.
“Ini penting agar tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak ada pelanggaran hukum karena ketidakjelasan status lahan,” tegas Farizal.
Mantan anggota Tim Anggaran DPRD Siak itu juga mendesak Pejabat Pemkab Siak dan DPRD Siak untuk segera turun tangan meluruskan persoalan pengelolaan KITB, agar kawasan strategis ini tidak kehilangan nilai masa depannya.
“Jangan biarkan masyarakat kehilangan harapan dan menganggap negeri ini seperti tak bertuan,” tutupnya.(MN1)