Iklan

Mobile recent

Terkait Perpres No. 5 Thn 2025, Forum LSM Riau Bersatu Kritisi Pembiaran Penggunaan Lahan Hutan Puluhan Tahun

Metronews1
Jumat, 13 Juni 2025, Juni 13, 2025 WIB Last Updated 2025-06-13T04:50:05Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

 


PEKANBARU,  metronews1.com- Upaya penertiban lahan kawasan hutan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) cukup diapresiasi masyarakat. Namun program rehabilitasi tersebut yang didukung melalui Perpres No. 5 tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dan Pengambilalihan lahan harus bijaksana dan memperhatikan faktor peradaban manusia yang telah bermukim puluhan tahun di lokasi tersebut.


Seperti halnya pengosongan lahan yang telah ditempati warga bermukim puluhan tahun di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dengan batasan waktu sangat singkat tiga bulan, mulai 22 Mei hingga 22 Agustus 2025 sangatlah keterlaluan, seperti halnya disampaikan langsung Kasum TNI, Letjen TNI Richard TH Tampubolon saat pemasangan plang penyegelan kawasan TNTN, Selasa (10/6/2025).


"Negara harus memikirkan nasib masyarakat, karena peradaban manusia lebih terhormat daripada lainnya," ujar Penasehat Forum LSM Riau Bersatu, Fajar Simanjuntak kepada wartawan, Kamis (12/6/2025) di Pekanbaru.


Kritiknya lagi, negara harus memberi solusi yang cerdas, seperti mengoreksi kembali penggunaan lahan HTI di beberapa daerah oleh perusahaan besar di Riau. Sedangkan di kawasan TNTN telah ada tiga desa yang aktivitas pembangunan maupun kehidupan masyarakatnya selama ini terdata secara hukum oleh pemerintah.


“Kita apresiasi tindakan tegas Satgas PKH, termasuk menyita kebun sawit yang berada dalam kawasan butan. Namun demikian, kita meminta pemerintah tetap memperhatikan nasib masyarakat yang sudah terlanjur menanam sawit di kawasan hutan tersebut,” tandas Fajar Simanjuntak lagi.


Karena lanjutnya, selama ini masyarakat karena ketidaktahuannya atau unsur pembiaran dari pihak tertentu atau oknum pemerintah, sehingga aktivitas berkebun masyarakat dalam kawasan TNTN dianggap sebagai kewajaran. Bila sekarang lahan yang menjadi tempat mereka menggantungkan hidup harus disita, tentu masyarakat petani sawit tersebut akan kehilangan sumber pendapatan dan pekerjaan. "Ini perlu menjadi perhatian pemerintah,” tuturnya.


Sementara itu, Ketua Umum Forum LSM Riau Bersatu, Ir Robert Hendrico menyebutkan, negara seharusnya mengambil peranan untuk menyelamatkan hutan yang bukan di Riau saja, tapi di seluruh Indonesia. Yang terjadi selama ini seperti ada unsur pembiaran yang sangat lama. Sedangkan selama ini dalam kawasan hutan ada lindung, hutan terbatas atau hutan produksi, hutan konversi atau HTI, suaka margasatwa yang semuanya terjadi pembiaran. "Sepertinya hukum tidak berlaku sebelum pak Prabowo jadi presiden. Tak heran saat ini banyak kehidupan yang terjadi wilayah dalam kawasan hutan," tukas Robert pula.


Selain itu, aspek sosialnya juga sangat tinggi, karena ada sekolah, rumah ibadah, pasar, maupun fasilitas fasilitas negara yang semuanya menggunakan dana APBD maupun APBN. Artinya, masyarakat yang bermukim di dalamnya jangan dianggap tidak mengerti aturan aturan perundangan terkait kawasan hutan. "Pembiaran ini terjadi sangat lama. Sedangkan perusakan hutan, soal perkebunan sawit dan untuk penertiban kawasan hutan itu sendiri jauh hari sudah memiliki aturan," jelas Robert lagi.


Disebutkan, ada tiga produk hukum yang jadi acuan penyelamatan hutan selama ini, seperti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penertiban Keselamatan Hutan.


Menurut Robert, ketiga UU tersebut saling berkaitan dan UU Kehutanan menjadi dasar. Dimana UU Perkebunan sudah mengatur dengan jelas sektor perkebunan, termasuk yang mungkin berbatasan atau menggunakan lahan di kawasan hutan. Sementara UU Pencegahan Perusakan Hutan jelas mengatur tentang penegakan hukum terhadap pelanggaran bagi mereka yang merusak hutan.


Ketiga produk hukum itu, kata Robert, hampir 20 tahun lebih tidak dijalankan secara maksimal. Diduga, selama ini negara tutup mata atas semua kejahatan di bidang kehutanan.


Kemudian muncul UU Cipta Kerja yang juga mengatur bidang perkebunan dalam kawasan hutan. Dimana negara telah memberi waktu tiga tahun untuk merapikan kebun dalam kawasan hutan.


Kini, Presiden Prabowo Subianto secara tegas mengeluarkan kebijakan spektakuler, Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan yang direalisasikan dengan pembentukan Satgas PKH.


“Artinya, tidak saja kebun sawit dalam hutan yang ditertibkan tapi kebun yang tak ada izin, bahkan tambang tak berizin juga ditindak Satgas PKH. Tentu kebijakan ini sangat kita dukung,” ujarnya.


Perlu juga dicatat, kata Robert, dalam kawasan hutan TNTN itu sekarang terdapat masyarakat yang sudah ada puluhan tahun. “Bila TNTN atau kawasan hutan lainnya ditertibkan, tolong negara juga bijak dengan memperhatikan kelangsungan kehidupan mereka,” harapnya.


Sebab, menurut Robert, apapun ceritanya hutan harus dilestarikan demi kelangsungan alam. Namun demikian, dalam bertindak pemerintah melalui Satgas PKH jangan tebang pilih.


“Jangan hanya kebun masyarakat petani saja yang disita, namun juga milik para cukong atau perusahaan yang tidak sesuai aturan juga harus disita,” tegasnya.


Diharapkan, negara bisa memberikan solusi cerdas dan bijak dalam menyelamatkan nasib masyarakat yang sudah terlanjur menggantungkan hidup di kawasan hutan TNTN tersebut.


“Ada baiknya pemerintah memikirkan cara merelokasi masyarakat. Sehingga, saat mereka meninggalkan kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka sekarang, mereka bisa memulai kehidupan baru di tempat baru. Jadi mereka tidak kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidupnya,” tukasnya.


Dikatakan, meski tindakan masyarakat membuat kebun sawit dalam kawasan hutan itu salah secara hukum, namun pemerintah juga harus memikirkan bagaimana kehidupan mereka kelak.


Sebagai rujukan, TNTN merupakan hutan konservasi dengan tingkat kerusakan terparah di Indonesia. Keberadaan TNTN menjadi sorotan dunia di tengah kampanye pemerintah yang mengklaim peduli terhadap deforestasi hutan, namun di lapangan justru tak sesuai.


Dari total luasan TNTN sekitar 81.700 hektare lebih, seluas 40.400 hektare lebih sudah menjadi kebun sawit. Data terkini, luas hutan tersisa di TNTN hanya sekitar 13.700 hektare lebih.


Ini artinya, lebih 65.000 hektare lebih kawasan hutan di TNTN, terindikasi telah mengalami kerusakan.


Penggarapan secara ilegal dan massif TNTN dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat, termasuk kaki tangan korporasi.


Hasil kebun sawit dari TNTN ditampung sejumlah pabrik kelapa sawit milik perusahaan besar, namun tidak pernah mendapat tindakan hukum.


Kini, kehancuran TNTN sudah masuk dalam kondisi kritis akibat alih fungsi menjadi kebun kelapa sawit secara ilegal dan sudah berlangsung belasan tahun.


Sekretaris Satgas PKH Sutikno menjelaskan, dari 81.793 hektare kawasan hutan TNTN, kini hanya tersisa sekitar 12.000 hektare saja.


Padahal, hutan itu milik negara, namun kini dikuasai dan digarap kelompok tertentu dan masyarakat.


“Selama ini, TNTN itukan dijarah orang-orang ataupun perusahaan tertentu. Dan itulah nanti yang akan kita kuasai kembali untuk dikembalikan ke negara,” ujar Sutikno, Senin (9/6/2025) di Jakarta.


Menurut Sutikno, kawasan hutan di Tesso Nelo bukan cuma milik negara sebagai taman nasional, melainkan juga sebagai paru-paru dunia.


“Tesso Nilo itu, mestinya menjadi konservasi, tetapi dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal kawasan itu, bukan cuma taman nasional, tetapi juga sebagai paru-paru dunia,” tukasnya. (*)


Komentar

Tampilkan

Terkini