PEKANBARU, detakriau.com - Setelah sempat mengaku telah mentransfer uang Rp713 juta kepada oknum Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Pekanbaru (Kejari) berinisial DSD, mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sutan Syarif Kasim (Suska) Riau, Akhmad Mujahidin, minta maaf atas tudingannya tersebut. Ada apa ?
Diketahui, Akhmad Mujahidin merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan jaringan internet di UIN Suska Riau tahun anggaran 2020 dan 2021. Dia sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru dan telah dituntut penjara oleh JPU selama 3 tahun pada 16 Desember 2022 lalu.
Terkait masalah ini, Akhmad Mujahidin juga sudah membuat surat pernyataan dan permohonan maaf kepada jaksa yang telah ditudingnya menerima uang. Di surat yang ditulis tangan itu, dia menyebut jika uang Rp300 juta sudah dikembalikan oleh SP kepadanya sedangkan sisanya Rp160 juta, akan segera dibayarkan dalam waktu dekat.
"Saya Akhmad Mujahidin bin Abidin memohon maaf kepada jaksa DS dan institusi kejaksaan atas kejadian ini," ucap Akhmad mengungkap dalam suratnya, dilansir cakaplah.com.
Diketahui Akhmad Mujahidin saat ini berstatus terdakwa dugaan korupsi pengadaan jaringan internet di UIN Suska Riau tahun anggaran 2020 dan 2021. Dia masih menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Pada 16 Desember 2022, JPU telah menuntut Akhmad Mujahidin dengan hukuman penjara selama 3 tahun. Terdakwa juga dituntut membayar denda sebesar Rp200 juta, dengan subsidair selama 6 bulan pidana kurungan penjara.
Jelang sidang pembacaan vonis, Akhmad Mujahidin membuat pengakuan mengejutkan yang disebarkannya melalui pesan WhatsApp. Dia membeberkan pemberian uang total Rp713 juta untuk pengurusan perkara kepada jaksa berinisial DSD. Uang ratusan juta ini diserahkan lewat perantara pria berinisial SP.
Agung dalam bantahannya menyatakan, tidak adanya jaksa di Kejari Pekanbaru menerima uang dari terdakwa Akhmad Mujahidin atau penasehat hukumnya dibuktikan dengan pengakuan SP sendiri.
"Hal ini ditegaskan juga oleh pihak yang ternyata menerima uang atau barang dari terdakwa AM (Akhmad Mujahidin, red) yang sedang kita sidangkan, yang mengatasnamakan seorang jaksa di Pidsus. Kami tegaskan tidak ada jaksa Pidsus yang menerima uang sebagaimana yang disampaikan terdakwa," tegas Agung.
Pria berinisial SP, juga telah membuat pernyataan dengan menyebut bahwa dirinya tidak pernah menyetorkan uang yang diterima dari Akhmad Mujahidin kepada jaksa yang dimaksud. Ditanya profesi SP, Agung mengaku tidak mengetahui pasti, tapi berdasarkan informasi yang didapat, dia merupakan bagian dari tim legal Akhmad Mujahidin.
Agung menegaskan, Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Pekanbaru akan terus berupaya maksimal memberantas korupsi. "Semoga bidang Pidsus akan terus berkarya khususnya Kejari Pekanbaru untuk memberantas korupsi," kata Agung.
Atas tudingan tersebut, Agung menyatakan, pihaknya akan mempelajari lebih lanjut untuk kemudian dilaporkan kepada pimpinan. Tidak hanya itu, pihaknya juga berencana menempuh jalur hukum dengan melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. "Mungkin salah satunya (melapor ke polisi)," tegas Agung.
Agung menyebut, tudingan Akhmad Mujahidin tak masuk akal karena JPU dari Kejari Pekanbaru telah menuntutnya dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta. "Ini absurd (tidak masuk akal, red) ketika terdakwa meminta bebas atau onslag. Ini suatu hal yang tidak memungkinkan," urainya.
Bantah
Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru membantah tundingan mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasih (Suska) Riau, Prof Akhmad Mujahidin, terkait tudingan telah mentransfer uang sebesar Rp713 juta ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar dirinya bisa dituntut bebas dan diberi penangguhan penahanan.
Bantahan tersebut disampaikan oleh Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Pekanbaru, Agung Irawan, Senin (9/1/2023) sore. "Kami tegaskan bawah jajaran Kejaksaan Negeri Pekanbaru tidak ada menerima apapun dari terdakwa atau penasehatnya," ujar Agung, dilansir cakaplah.com.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Dr Supardi, yang dikonfirmasi, Senin (9/1/2023) mengaku sudah mendengar info tersebut. Dia menyatakan telah membentuk tim untuk mengusut kebenaran tudingan Akhmad Mujahidin tersebut.
"Tunggu hasil tim. Saya sudah turunkan tim. Saya dengar info ini semalam (Ahad malam, red)," ujar mantan Direktur Penyidikan pada JAMPidsus Kejagung RI.
Ditanya apakah dirinya juga menerima informasi melalui pesan WhatsApp, Supardi enggan berkomentar. "Itu saja dulu," tuturnya singkat.
Kasus
Untuk diketahui, JPU dalam dakwaannya menyebut tindakan korupsi dilakukan terdakwa Akhmad Mujahidin selaku Rektor UIN Suska Riau 2018-2022 berkerja sama dengam Benny Sukma Negara (masih dalam tahap penyidikan).
Sekitar 2019 sampai 2020, terdakwa melakukan kolusi dan ikut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan internet. Pengadaan jaringan internet untuk menunjang proses belajar di UIN Suska diajukan oleh Benny selaku Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data UIN Suska Riau, dengan anggara dana Rp2.940.000.000, dan untuk Pengadaan Jaringan Internet bulan Januari hingga Maret 2021 sebesar Rp734.999.100.
Adapun sumber dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Rupiah Murni (RM). Bahwa Rencana Umum Pengadaan (RUP) kegiatan Pengadaan Jaringan Internet kampus UIN Suska Riau Tahun 2020 dan Tahun 2021 ditayangkan ke dalam aplikasi SIRUP (Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan) LKPP dengan metode pemilihan e-purchasing.
Dalam pelaksanannya, terdakwa seolah-olah menjadi PPK pengadaan layanan internet. Hal itu dilakukan terdakwa selaku KPA UIN Suska Riau berdasarkan Surat Keputusan RNomor 001/R/2020 tentang Penetapan Penanggungjawab Pengelola Keuangan di Lingkungan UIN Suska Riau Tahun Anggaran 2020.
Padahal terdakwa telah menunjuk PPK Rupiah Murni untuk kegiatan pengadaan layanan internet di UIN Suska Riau Tahun 2020. Namun terdakwa mengambil semua tanggung jawan PPK.
Pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya, yaitu dengan cara terdakwa yang menandatangani Kontrak Berlangganan (Subscription Contract) Nomor : K.TEL.13/HK.820/WTL-1H10000/2020 tanggal 02 Januari 2020.
Di kontrak itu, mencantumkan kontak person atas nama Benny Sukma Negara dengan maksud agar PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. WITEL RIDAR unikasi Indonesia, Tbk. berkomunikasi dengan Benny Sukma Negara bukan dengan PPK.
"Terdakwa memerintahkan PPK Rupiah Murni, dan saksi Safarin Nasution untuk melakukan pembayaran terhadap kegiatan Pengadaan Layanan Internet di UIN SUSKA Tahun Anggaran 2020," ujar JPU.
Setelah 12 bulan, tidak semua layanan atau prestasi sebagaimana tertuang dalam kontrak berlangganan dilaksanakan atau terealisasi setiap bulannya.
Di antaranya, layanan Maintenance Fiber Optic antar gedung, sebagaimana dalam Kontrak berlangganan nomor K.TEL.13/HK.820/WTL-1H10000/2020, tertanggal 02 Januari 2020. '
Layanan itu tidak pernah dilaksanakan atau terealisasi, namun setiap bulannya tetap dibayarkan sebagaimana dalam Kontrak Berlangganan.
Kemudian, Layanan Pergantian Baterry Pack untuk server, sebagaimana dalam Kontrak berlangganan nomor K.TEL.13/HK.820/WTL-1H10000/2020, tertanggal 02 Januari 2020, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pihak UIN SUSKA hanya menerima kiriman Battery Pack untuk server sedangkan realisasi pergantian battery pack tidak ada sebagaimana dalam Kontrak Berlangganan.
Untuk layanan pelatihan yang awalnya pelatihan MTCNA (pelatihan terkait dengan networking atau jaringan), sebagaimana dalam Kontrak berlangganan nomor K.TEL.13/HK.820/WTL-1H10000/2020, tertanggal 02 Januari 2020, atas permintaan Benny Sukma Negara diganti menjadi pelatihan Docker dan Kubernetes (pelatihan terkait dengan aplikasi atau software).
Berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor : 00127/SPM-LS/424157/2020 tanggal 8 Mei 2020 dengan nilai pencairan sebesar Rp979.998.800. Untuk pajak disetorkan sendiri oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk WITEL RIDAR.
Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor : 00149/SPM-LS/424157/2020 tanggal 27 Mei 2020 dengan nilai pencairan sebesar Rp. 244.999.700. Lalu, berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor : 00182/SPM-LS/424157/2020 tanggal 15 Juni 2020 dengan nilai pencairan sebesar Rp 244.999.700.
Pencairan juga dilakukan berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor : 00212/SPM-LS/424157/2020 tanggal 14 Juli 2020 dengan nilai pencairan sebesar Rp. 244.999.700, serta berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) Nomor : 00257/SPM-LS/424157/2020 tanggal 28 Agustus 2020 dengan nilai pencairan sebesar Rp. 244.999.700.
Total dana yang dibayarkan sebesar Rp2.672.724.000. Semua pajak dari pembayaran itu langsung disetorkan sendiri oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk WITEL RIDAR.(rid/ckp)